![]() |
Deputy Koordinator MAKI, Feri Kurniawan, menjelaskan bahwa dugaan ini berpusat pada penggunaan cover note yang dikeluarkan oleh notaris sebagai agunan kredit senilai Rp 1,3 triliun. Padahal, sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang seharusnya menjadi dasar agunan, diklaim masih dalam proses dan belum clean and clear terkait ganti rugi serta alih fungsi tanah negara.
"Menurut kami, cover note tidak memiliki legalitas dan nilai finansial. Itu hanya semacam pernyataan tentang suatu proses yang akan diselesaikan," ujar Feri Kurniawan. Namun, cover note tersebut, yang disebutnya sebagai "secarik kertas memo," justru dinyatakan bernilai hampir Rp 3 triliun oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menjadi dasar pagu kredit.
Feri Kurniawan menilai, persetujuan kredit modal kerja oleh Bank BRI kepada PT BSS dan PT SAL senilai Rp 1,3 triliun dengan dasar cover note yang didukung pernyataan Kantor Wilayah BPN Sumsel dan Kementerian ATR, serta penilaian agunan dari KJPP, mengabaikan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian dalam pemberian fasilitas kredit.
Akibatnya, lanjut Feri, kebun sawit PT BSS dan PT SAL diduga tidak tertanam sesuai klausal rencana pinjaman di Bank BRI. Hal ini menyebabkan hasil panen tandan buah segar (TBS) tidak mampu menutupi bunga dan pokok pinjaman.
"Penyebab tidak optimalnya panen tandan buah sawit ada beberapa kemungkinan, seperti dana pinjaman yang diduga digunakan untuk investasi perusahaan induk PT PU, biaya proses pembuatan HGU dan cover note yang terlalu mahal, atau dana yang digunakan untuk ganti rugi lahan," papar Feri Kurniawan.
Menyikapi hal ini, MAKI mendesak Kejaksaan untuk tidak tebang pilih dalam memanggil saksi. "Kejaksaan harus memanggil saksi seperti WS selaku pemilik PT PU, PT BSS, dan PT SAL; HS mantan Menteri ATR; serta N mantan Sekretaris Kanwil BPN Sumsel untuk dimintai keterangan," tegas Feri.
Feri Kurniawan juga menegaskan bahwa kerugian sebesar Rp 800 miliar harus ditanggung oleh PT PU selaku perusahaan induk dan pemegang saham PT BSS dan PT SAL, serta "WS," dengan menerapkan pasal Corporate Crime.
"Yusron Wahid (nama yang disebut dalam konteks BPN) harus peka terhadap personal manajemen Kantor BPN untuk mereformasi kinerja Kementerian ATR, khususnya di Sumatera Selatan, yang diduga ada 'mafia jabatan' yang menjadi 'mafia tanah'," pungkas Feri Kurniawan, menyerukan reformasi di lembaga pertanahan.
KALI DIBACA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar